3,6 Juta Ton Air Kelapa RI Dibuang-buang, Nilainya Bisa Bangun LRT-MRT

A Bangladeshi street vendor sells coconut on a street in Dhaka, Bangladesh, Wednesday, May 4, 2016. Many Bangladeshi people drink coconut water in summer to beat the heat. (AP Photo/ A.M. Ahad)

Gabungan Pengusaha Nata de Coco Indonesia (GAPNI) mencatat adanya potensi kerugian devisa negara sebesar US$5,25 miliar atau setara Rp79,65 triliun (asumsi kurs Rp15.172/US$). Ini disebabkan karena pemborosan air kelapa pada proses pengolahan kopra atau daging kelapa kering.

Ketua GAPNI Derri Kusuma mengatakan, sekitar 52,34% pemanfaatan kelapa sejauh ini masih dalam bentuk kopra untuk dijadikan produk turunannya minyak kelapa. Yang mana dalam proses pembuatan tersebut hanya memanfaatkan daging dan tempurung kelapanya saja. Alhasil, ada sebanyak 3,68 juta ton air kelapa atau setara dengan US$5,25 miliar terbuang sia-sia.

“Ada 3,68 juta ton air kelapa dibuang. (Padahal) itu bisa hasilkan devisa US$5,25 miliar. Sangat besar nilainya,” kata Derri dalam acara Peluncuran Peta Jalan Hilirisasi Kelapa di Kantor Bappenas, Jakarta, dikutip Selasa (1/10/2024).

Derri pun menyoroti soal pemanfaatan kelapa yang selama ini masih hanya berfokus pada makanan, seperti minyak dan nata de coco. Padahal, katanya, ada begitu luas pasar non-makanan yang bisa dihasilkan dari produk turunan kelapa, yang sampai saat ini masih belum tergarap secara maksimal di Tanah Air.

Sementara itu, negara tetangga Indonesia yang mana sekaligus menjadi kompetitor, seperti Filipina dan Vietnam saat ini mereka telah mengembangkan kelapa menjadi produk turunan non-makanan, seperti masker wajah hingga jaket.

Karenanya, dia berharap ke depan Indonesia, baik dari pemerintah hingga swasta bisa bekerja sama dalam mengembangkan produk hilirisasi kelapa non-makanan.

“Harapan kami, ada kerja sama dalam mengembangkan produk non-food,” lanjut dia.

Lebih lanjut, Derri melihat adanya tantangan dalam hilirisasi produk turunan kelapa, seperti sumber air kelapa yang masih banyak terdapat di daerah dan di pulau-pulau, namun tenaga kerja di daerah tersebut masih sangat minim. Hal itu berbanding terbalik dengan Pulau Jawa, di mana tenaga kerja melimpah, sementara bahan baku justru minim.

Selain itu, teknologi di daerah-daerah yang belum optimal, karena mayoritas industri pengolahan air kelapa masih didominasi oleh industri rumah tangga.

Sebagai gambaran, dengan nilai US$5,25 miliar atau Rp79,65 triliun bisa membangun berbagai proyek infrastruktur. Misalnya saja LRT Jabodebek yang menelan anggaran pembangunan Rp32,5 triliun.

Sementara itu, untuk proyek MRT Jakarta fase I dari Lebak Bulus-Bundaran HI menghabiskan anggaran Rp24,2 triliun. Sedangkan Fase 2A dari Bundaran HI hingga Kota menghabiskan anggaran Rp25,3 triliun. Dan terakhir MRT Medan Satria ke Tomang Rp14,5 triliun.

https://coachfactoryoutletbbx.net/
https://rtpmeja138.com/
https://apkmeja138.com/
https://meja138.jp.net/
https://heylink.me/kas4d__/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*