Jokowi Kena 2 ‘Tamparan’ Bertubi-tubi Jelang Akhir Masa Jabatan

Presiden Joko Widodo kembali menggelar Sidang Kabinet Paripurna (SKP) di Ruang Sidang Kabinet, Istana Garuda, Ibu Kota Nusantara (IKN), pada Jumat, (13/9/2024). (Dok. Biro Pers Sekretariat Presiden)
Foto: Presiden Joko Widodo kembali menggelar Sidang Kabinet Paripurna (SKP) di Ruang Sidang Kabinet, Istana Garuda, Ibu Kota Nusantara (IKN), pada Jumat, (13/9/2024). (Dok. Biro Pers Sekretariat Presiden)

Di pengujung akhir masa jabatannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi)dihadapkan dua kabar buruk sekaligus di awal September 2024. Pertama adalah amblesnya Indeks Harga Konsumen (IHK), lalu kedua soal Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data IHK pada Agustus 2024 melandai dan di bawah dan di bawah ekspektasi konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia.

Secara tahunan (year on year/yoy), IHK masih naik atau mengalami inflasi sebesar 2,12% pada Agustus 2024 atau lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yang tercatat 2,13%. Secara bulanan (month to month/mtm), IHK turun tercatat mengalami deflasi sebesar 0,03%.

“Deflasi bulan Agustus 2024 lebih rendah dari Juli 2024 dan merupakan deflasi keempat 2024,” kata Deputi Bidang Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini, dikutip Sabtu, (14/9/2024).

Sementara konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 11 institusi memperkirakan IHK Agustus 2024 stagnan 0% dibandingkan bulan sebelumnya yang mengalami deflasi 0,18%. Sedangkan IHK secara tahunan diperkirakan akan naik tipis menjadi 2,15% (yoy) pada Agustus 2024 dan IHK inti diproyeksi sebesar 1,99% yoy.

Deflasi 4 Bulan Berturut-turut, Anomali Besar Bagi RI

Deflasi empat bulan berturut-turut secara bulanan ini pertama kali terjadi sejak 1999 atau 25 tahun terakhir. Artinya, selama era reformasi baru kali ini Indonesia mengalami deflasi empat bulan beruntun.

Turunnya harga-harga selama 4 bulan ke belakang ini patut dicermati. Pasalnya, deflasi berturut-turut semakin menegaskan sinyal pelemahan daya beli masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang sedang tidak stabil.

Sebagai pembanding, pada 1999 deflasi pernah terjadi dalam delapan bulan beruntun yakni pada Maret (-0,18%), April (-0,68%), Mei (-0,28%), Juni (-0,34%), Juli (-1,05%), Agustus (-0,71%), September (-0,91%), dan Oktober (-0,09%). Kondisi perekonomian saat itu memang sedang carut-marut akibat krisis ekonomi tahun 1997-1998.

Untuk data Agustus 2024, penyumbang deflasi terbesar adalah makanan, minuman dan tembakau dengan deflasi 0,52% dan andil deflasi 0,15%.

Secara historis, IHK Indonesia lebih kerap mencatat inflasi dibandingkan deflasi. Catatan deflasi biasanya hanya terjadi sebulan kemudian diikuti dengan inflasi pada bulan berikutnya.

Deflasi juga cuma terjadi pada periode-periode tertentu seperti pasca Lebaran Idul Fitri. Dengan berdasar catatan historis itu pula maka deflasi dua bulan, tiga bulan, apalagi empat bulan beruntun adalah hal yang sangat langka. Kondisi anomali deflasi tiga bulan beruntun hanya terjadi tiga kali selama 38 tahun terakhir yakni pada 1999, 2020, dan tahun ini.

Deflasi empat bulan berturut-turut dalam sejarah panjang Indonesia hanya terjadi dua kali dalam kurun waktu 45 tahun (1979-2024) yakni pada 1999 dan tahun ini. Anomali besar ini jelas memunculkan tanda tanya.

Jokowi Ingatkan Bahaya Inflasi

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam berbagai kesempatan selalu mengingatkan akan bahaya inflasi karena laju inflasi pada 2022 hingga 2023. Namun justru kondisi yang ada saat ini muncul deflasi dan hingga saat ini, Jokowi belum memberikan pernyataan soal deflasi empat bulan berturut-turut ini.

Menanggapi hal ini, Ekonom Bank Danamon Hosianna Situmorang menyampaikan, selama lima tahun terakhir, deflasi sebagian besar disebabkan oleh penurunan harga makanan yang volatil.

Terlihat deflasi yang terjadi sejak Mei-Agustus 2024 menunjukkan tingkat harga barang bergejolak terpantau juga mengalami deflasi.

Begitu pula ketika terjadi deflasi pada Agustus 2023, barang bergejolak pun mengalami kontraksi.

Periode Februari, Agustus, dan Oktober 2022 juga terpantau hal yang sama yakni deflasi headline dan barang bergejolak.

Juni dan September 2021 juga tercatat mengalami deflasi pada sisi headline maupun barang bergejolak.

PMI Manufaktur Kontraksi Lagi

PMI Manufaktur Indonesia menunjukkan kontraksi untuk dua bulan beruntun yakni pada Juli (49,3) dan Agustus. Posisi PMI Manufaktur saat ini juga merupakan yang terendah sejak Agustus 2021.

Ambruknya PMI Manufaktur ini tentu memicu kekhawatiran karena manufaktur adalah penyumbang kinerja ekonomi dan menyerap tenaga kerja. Ambruknya manufaktur juga bisa mencoreng kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelang turun jabatan Oktober mendatang.

Chief Economist Bank Permata, Josua Pardede mengungkapkan catatan deflasi di Agustus terjadi seiring dengan penurunan harga volatile food karena peningkatan produksi bawang merah.

Lebih lanjut, deflasi yang dialami Indonesia selama empat bulan beruntun yang diikuti dengan turunnya PMI Manufaktur Agustus yang anjlok ke level 48,9 poin menjadi indikasi adanya penurunan daya beli masyarakat.

“Tren deflasi ini dipengaruhi oleh supply pangan yang sudah mulai membaik atau normalized pasca factor el nino di awal tahun ini.

Namun kita juga perlu mencermati bahwa ada kecenderungan daya beli masyarakat ada kemungkinan trennya sudah mulai menurun. Hal ini diperkuat dengan data yang dirilis pagi ini adalah PMI manufacturing Indonesia kembali lagi masuk ke dalam fase kontraktif.” tutur Josua dalam program Profit, CNBC Indonesia.

S&P Global menjelaskan manufaktur Indonesia terkontraksi lebih lanjut karena menurunnya output dan pesanan baru dengan tingkat yang lebih tajam.

Perusahaan manufaktur Indonesia juga terus mengurangi jumlah tenaga kerja meski hanya marginal.

“Penurunan dalam manufaktur Indonesia semakin intensif pada Agustus, yang ditandai dengan penurunan tajam dalam pesanan baru dan output untuk pertama kalinya dalam tiga tahun,” tutur Paul Smith, Direktur Ekonomi di S&P Global Market Intelligence, dikutip dari website resmi S&P Global.

“Tidak mengherankan, perusahaan merespons dengan mengurangi jumlah tenaga kerja, meskipun banyak yang menekankan bahwa ini bersifat sementara,” imbuhnya.

Kondisi lemahnya industri manufaktur Indonesia ini diperkirakan terus akan terjadi hingga akhir kuartal III-2024.

Ekonom Senior Samuel Sekuritas Indonesia Fithra Faisal mengatakan, dengan produsen kemungkinan menghadapi kendala yang berkelanjutan, menjadikan dukungan kebijakan potensial penting untuk menstabilkan sektor ini.

“Kami memperkirakan permintaan industri akan melemah sepanjang tahun depan karena kondisi pasar yang buruk, termasuk daya beli yang rendah dan permintaan global yang tertekan,” papar Fithra.

“Dengan prospek pertumbuhan yang terbatas baik domestik maupun internasional, kami memperkirakan PMI Indonesia akan berada di sekitar 49-50 hingga akhir kuartal ketiga, sejalan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi kami sebesar 4,9% untuk tahun ini,” tutup Fithra.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*