
Tanggal 2 September 2024 menjadi sangat istimewa bagi sejarah ketahanan energi Indonesia. Setelah menunggu 79 tahun lamanya sejak kemerdekaan diproklamirkan, menjelang masa jabatannya berakhir, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpres Nomor 96 Tahun 2024 tentang Cadangan Penyangga Energi (Perpres CPE) yang didefinisikan sebagai jumlah ketersediaan Sumber Energi dan Energi yang disimpan secara nasional yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
Energi nasional pada kurun waktu tertentu.
CPE dan Cadangan Operasional (CO) merupakan 2 (dua) pondasi besar suatu bangunan besar bernama Cadangan Energi Nasional untuk menopang ketahanan energi nasional. CPE dan CO sebagai amanat PP Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional yang merupakan pelaksanaan UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (UU Energi), saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.
Kehadiran Perpres CPE melengkapi pengaturan Cadangan Energi Nasional yang terlebih dahulu diimplementasikan oleh CO. BPH Migas sebagai badan pengatur yang melaksanakan fungsi penjamin ketersediaan dan distribusi BBM di seluruh wilayah NKRI, telah merumuskan pengaturan khusus penyediaan CO BBM melalui Peraturan BPH Migas Nomor 9 Tahun 2020.
CO BBM didefinisikan sebagai jumlah BBM yang menjadi bagian dari kegiatan operasional Badan Usaha (BU), di mana kegiatan pemenuhan CO BBM disimpan dalam cakupan kurun waktu hari tertentu pada Fasilitas Penyimpanan. BPH Migas melakukan monev pelaksanaan penyediaan CO BBM setiap BU Niaga Umum dengan
mengacu pada kebijakan presiden yang tertuang dalam RPJMN Tahun 2020-2024, dengan amanat ketahanan hari CO BBM sebesar 23 hari.
Hal ini bermakna bahwa presiden menginginkan BU mampu menyediakan CO BBM sebanyak 23 ketahanan hari yang dihitung dari stok dibagi penyaluran rata-rata.
CO BBM berfungsi sebagai alert dalam mendeteksi potensi awal terjadi kondisi Krisis Energi dan/atau Darurat Energi (Krisdaren) BBM pada setiap BU Niaga Umum, yang merupakan garda terdepan dalam mendistribusikan BBM kepada konsumen akhir.
Namun jika BU tidak dapat memenuhi ketahanan hari 23 hari pada suatu jaringan distribusi niaga, tidak serta merta telah terjadi kondisi Krisdaren BBM. Pengaturan Krisdaren BBM diatur tersendiri melalui Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Perpres Nomor 41 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan dan Penanggulangan Krisis Energi dan/atau Darurat Energi (Permen ESDM Pelaksanaan Krisdaren).
Krisis energi dimaknai sebagai kondisi kekurangan energi, sedangkan darurat energi dimaknai sebagai kondisi terganggunya pasokan energi akibat terputusnya sarana dan prasarana energi.
Permen ESDM Pelaksanaan Krisdaren juga mengatur CO BBM selama 7 (tujuh) hari ketahanan stok pada terminal BBM dan Stasiun Pengisian Bahan Bakar pada suatu Wilayah Distribusi Niaga BBM sebagai batas minimum cadangan, untuk kemudian menjadi pertimbangan diusulkan sebagai Krisis Energi berdasarkan kondisi teknis operasional, jika CO BBM tersebut diperkirakan tidak terpenuhi dan tidak tertanggulangi oleh BU selama lebih dari 30 (tiga puluh) hari ke depan.
Krisis Energi berdasarkan kondisi teknis operasional tersebut ditetapkan oleh menteri penyelenggara urusan pemerintahan di bidang energi. Pada penetapan Darurat Energi berdasarkan kondisi teknis operasional, mempertimbangkan tingkat kesulitan dan lamanya waktu penanganan terjadinya keadaan kahar, gangguan keamanan, dan/atau kecelakaan teknis pada sarana dan prasarana energi, di mana diperkirakan tidak dapat dipulihkan oleh BU selama lebih dari 3 (tiga) bulan.
Sedangkan untuk penetapan Krisdaren berdasarkan kondisi nasional, akan ditetapkan presiden jika mengakibatkan terganggunya fungsi pemerintahan, terganggunya kehidupan sosial masyarakat, dan/atau terganggunya kegiatan perekonomian dengan mempertimbangkan besarnya eskalasi dampak Krisdaren berdasarkan kondisi teknis operasional yang diukur secara nasional.
Setelah dinyatakan suatu kondisi Krisdaren, baik yang diakibatkan oleh ketidakmampuan, kegagalan BU dalam memenuhi CO BBM maupun karena faktor kahar, maka disinilah dibutuhkannya CPE yang berfungsi sebagai buffer yang disediakan dan sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam melindungi warganya. Tindakan cepat diperlukan untuk meredam efek dari kondisi Krisdaren yang dapat bereskalasi dengan cepat gangguan terhadap perekonomian nasional.
Perpres CPE hadir untuk menjamin Ketahanan Energi nasional, mengatasi Krisdaren, dan melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Perpres CPE mengatur 2 (dua) materi besar, yaitu pengaturan terkait penentuan jenis, jumlah, waktu dan lokasi CPE serta pengaturan pengelolaan CPE, dengan pendanaan dari APBN dan dapat juga diperoleh dari sumber pendanaan lainnya yang sah.
CPE diatur sebagai barang milik negara berupa persediaan, dengan jenis CPE yang ditetapkan, yaitu BBM jenis bensin, Liquefied Petroleum Gas (LPG), serta minyak bumi. Ketiga jenis ini terpilih dengan pertimbangan peran strategis dalam konsumsi nasional, sumber perolehan berasal dari impor, sebagai modal pembangunan nasional, neraca energi nasional, dan/atau sumber energi yang siap ditransformasikan atau dipergunakan.
Volume per jenis CPE ditargetkan akan terpenuhi sampai dengan tahun 2035, untuk BBM jenis bensin sejumlah 9,64 juta barel, LPG sejumlah 525,78 ribu metrik ton dan minyak bumi sejumlah 10,17 juta barel, pemenuhan jumlah CPE disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara setiap tahunnya. Sedangkan pemilihan Lokasi CPE, akan ditetapkan kemudian melalui sidang anggota DEN dengan memperhatikan pemenuhan syarat teknis dan kelayakan.
Setelah ditentukan jenis, jumlah, waktu dan lokasi CPE, Menteri aan melakukan pengelolaan CPE dengan mengadakan persediaan CPE, menyediakan infrastruktur CPE, memelihara CPE, menggunakan CPE, serta memulihkan CPE dengan mengikutsertakan BUMN, BU, dan/atau Bentuk Usaha Tetap di bidang Energi.
Perpres CPE telah diterbitkan Pemerintahan Joko Widodo, namun menyisakan pekerjaan besar bagi
Pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menindaklanjuti amanat Perpres CPE yang masih memerlukan penentuan pemilihan lokasi CPE dan pedoman teknis mekanisme pengelolaan dan pengawasan CPE. Tindaklanjut tersebut diharapkan dapat terselesaikan paling lambat pertengahan tahun 2025, sehingga pembangunan CPE dapat dilaksanakan secara bertahap dan dapat dianggarkan pada tahun anggaran 2026.