PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk selama masa pemerintahan Jokowi memiliki peran penting dalam mendukung program 1 juta rumah per tahun. Pada masa pemerintahan baru, Prabowo dan Gibran program itu akan dilanjutkan dan ditingkatkan menjadi 3 juta rumah per tahun. Agenda prioritas pemerintah di sektor perumahan tersebut bakal menempatkan kembali BTN sebagai tulang punggung.
Sementara itu, agenda besar pemerintah dalam menekan angka backlog perumahan telah melambungkan aset dan penyaluran kredit BTN.
Tercatat, total kredit dan pembiayaan BTN pada semester I-2024 mencapai Rp352 triliun, dibandingkan dengan Rp260,1 triliun. Sebagai informasi, BTN merupakan pemimpin pasar KPR di Indonesia dengan penguasaan market share sekitar 40%, dan menggerakkan 181 sub-sektor ekonomi serta lebih dari 7.000 pengembang perumahan dan 3.000 notaris telah bermitra dengan perseroan.
Di Indonesia, BTN menjadi bank satu-satunya yang memiliki portofolio terbesar di sektor perumahan, yakni 85% dari total kredit. Jika ditarik lebih jauh lagi, BTN telah menyalurkan kredit dan pembiayaan untuk 5,2 juta unit rumah sejak tahun 1976.
BTN dikenal sebagai bank yang menguasai pasar KPR subsidi. Dalam setahun terakhir, BTN telah memperluas ekspansi KPR non-subsidinya ke segmen emerging affluent atau kelas menengah ke atas untuk menyediakan pertumbuhan yang berkelanjutan.
Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah mengatakan penyaluran KPR subsidi mendatangkan banyak konsekuensi, termasuk ke kinerja keuangan. Dengan menyalurkan KPR subsidi ke segmen MBR, yang besaran bunganya terbilang rendah dan tidak bisa diubah, BTN tidak dapat menikmati marjin tinggi.
Skema KPR subsidi (FLPP) tentu berbeda dengan KUR. Bank penyalur KUR dapat menetapkan bunga kredit sesuai harga pasar tapi selisih bunganya ditanggung pemerintah. Dengan demikian, nasabah tetap dapat bunga murah dan bank penyalur tetap menikmati marjin tinggi. “FLPP tidak seperti itu. Andai skema KPR bersubsidi menggunakan skema KUR, dampak ke margin BTN pasti jauh lebih baik,” kata Piter.
Maka itu, lanjut Piter, terbilang wajar jika net interest margin (NIM) BTN terbilang tertinggal dibandingkan bank lainnya, bahkan di bawah rata-rata industri. Tekanan margin makin menjadi jadi ketika bunga acuan BI merangkak naik seiring perubahan kebijakan the Fed demi memerangi inflasi tinggi. BTN harus membayar bunga simpanan lebih mahal, sedangkan kenaikan biaya dana ini tidak bisa serta merta dikompensasikan dalam bentuk kenaikan bunga kredit.
NIM BTN sempat di bawah 3% di era bunga tinggi lantaran pendapatan bunga bersih tergerus oleh lonjakan biaya dana. “Belakangan BTN agresif mengembangkan segmen bisnis komersial dan produk high yield loan. Kombinasi antara efek penurunan bunga acuan dan inovasi di produk komersial serta bermargin tinggi, saya kira akan mengembalikan tingkat marjin atau profitabilitas BTN ke level yang ideal,” kata Piter.