Pejabat di Pulau Karibia Prancis, Martinik (Martinique), telah memberlakukan jam malam mulai pukul 21.00 hingga 05.00 pagi di beberapa bagian ibu kota. Hal ini terjadi pasca protes keras yang meningkat akibat tingginya biaya hidup, yang menyebabkan 14 orang luka-luka.
Mengutip The Guardian, Radio France International (RFI), melaporkan bagaimana situasi chaos terlihat di kota sejak Kamis pagi, dengan kendaraan yang dilalap api, bangunan yang hancur, dan polisi antihuru-hara berbaris lengkap. Mereka yang terluka rata-rata polisi namun beberapa terkena senjata api.
“Butuh waktu berbulan-bulan untuk membangun kembali restoran itu, yang akan berdampak pada puluhan pekerja berpenghasilan rendah,” kata direktur salah satu waralaba restoran cepat saji, McDonald’s, Martinique, Marie-Kelly Roussas, berbicara pada France 24, dikutip Jumat (20/9/2024).
Kepala Martinik yang ditunjuk Prancis, Jean-Christophe Bouvier, mengatakan jam malam akan diperpanjang hingga 23 September. Ini dimaksudkan untuk melindungi penduduk dan bisnis serta memulihkan hukum dan ketertiban.
Sebenarnya para demonstran mengatakan mereka terpaksa melakukan protes setelah pihak berwenang dan bisnis menutup mata terhadap petisi untuk menurunkan biaya hidup. Statistik nasional Prancis menunjukkan kesenjangan yang mencolok antara biaya hidup di daratan Prancis dan wilayah seberang laut, dengan penduduk Martinique membayar sekitar 30% hingga 42% lebih mahal untuk makanan.
Menteri Dalam Negeri Prancis, Gérald Darmanin tahun lalu telah berjanji untuk mengatasi masalah perusahaan yang menggunakan dominasi pasar mereka untuk menaikkan harga. Tetapi penduduk pulau Karibia itu mengatakan mereka masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan.
Pemimpin Rally for the Protection of Afro-Caribbean Peoples and Resources, Rodrigue Petitot, yang telah melakukan kampanye berkelanjutan untuk mengatasi biaya hidup. Ia mengatakan kepada France 24 bahwa prioritas protes tersebut adalah untuk memastikan orang-orang mampu membeli makanan.
“Martinik seharusnya menjadi departemen Prancis, yang berarti bahwa orang-orang di sini seharusnya berada pada level yang sama dengan Prancis,” kata atase bisnis dan budaya untuk konsulat St Lucia di Martinik, Shazi Chalon.
“Tetapi ada banyak orang yang melihatnya secara berbeda dan melihat bahwa ada perbedaan besar dalam cara Prancis mengelola Martinik,” ujarnya lagi.
“Dalam arti bahwa mereka percaya bahwa di negara yang mayoritas penduduknya berkulit hitam, semua orang yang memegang posisi tertinggi di sini … berasal dari Prancis,” tambahnya lagi menyebut Prancis daratan di Eropa.